Kapuk
>> Senin, 12 Juli 2010
Kapuk (Ceiba pertandra gaertn dari famili Bombacaceae) atau randu (Sunda/Jawa) dan kapo (Madura) umumnya tumbuh di kawasan pinggir pantai serta lahan-lahan dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Jenis pohon ini mulai berbunga dan berbuah pada usia 5-6 tahun dengan masa panen dilakukan setelah biji-biji kapuk berwarna kuning kelabu. Tanaman perkebunan ini berbeda dengan kapas yang dihasilkan dari tanaman kapas yang digunakan untuk bahan baku tekstil atau pakaian lainnya. Secara tradisional, kapuk digunakan sebagai bahan pembuat atau pengisi kasur dan saat ini dikembangkan aneka jenis keperluan lainnya.
Usaha budi daya kapuk sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam, namun harus diakui belum berkembang baik. Masih ada sejumlah hambatan yang sebenarnya juga merupakan persoalan klasik selama dalam budi daya. Lihat saja di sejumlah daerah di Indonesia, pohon kapuk tumbuh seadanya di sekitar pekarangan rumah. Jangankan melihat sebuah perkebunan kapuk, budi daya kapuk secara teratur dan baik pun sulit ditemukan.
Dari 147 jenis kapuk yang dapat tumbuh di berbagai negara, terdapat dua jenis yang dapat menghasilkan produk yang cukup baik yakni indica dan caribbaca. Indica memiliki batang pendek dan berdaun jarang serta dapat menghasilkan sekitar 600 gelondongan (sekitar 20 kg serat/pohon/tahun), sedangkan jenis caribbaca memiliki batang yang lebih tinggi, besar, berdaun lebat dan menghasilkan sekitar 2000 gelondongan (sekitar 80 kg serat/pohon/tahun).
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia pernah menjadi penghasil kapuk terbesar (sekitar 80 persen) sebelum perang dunia I. Sekitar 60 persen dari jumlah produksi saat itu, berasal dari Pulau Jawa, atau yang dikenal kapuk randu alias \"java kapuk\".
Sejumlah data menyebutkan tahun 1936-1937 ekspor kapuk Indonesia mencapai 28,4 juta kg/tahun. Seiring dengan minimnya peningkatan nilai tambah kapuk menyebabkan budi daya pun terus menurun. Tak ada dukungan sarana dan teknologi memadai serta minimnya permodalan semakin memerosotkan kapuk. Akibatnya kualitas dan produksi kapuk pun anjlok. Pada awal 1990-an, data yang ada menyebutkan luas areal tanaman kapuk sekitar 600 ribu ha, jumlah ini pun terus menurun.
Salah satu langkah untuk mengangkat lagi kapuk tersebut tentu dengan menawarkan manfaat produk olahan atau nilai tambah yang menguntungkan. Setidaknya melalui upaya memproduksi kapuk halus, kapuk bersih, kapuk daur ulang dan sejumlah jenis lainnya, diharapkan mendorong peningkatan budi daya tersebut. Manfaat kapuk juga tidak lagi sebatas bahan pembuat kasur dan bantal, tetapi juga pakaian pilot pesawat terbang terutama alat penyelamatan diri guna menghindari kecelakaan pesawat terbang.
Biji kapuk dapat diolah menjadi sejenis minyak goreng nonkolesterol dan minyak campuran sebagai bahan baku pembuatan sabun. Bahkan juga digunakan sebagai bahan bakar pada lampu pelita. Bungkil kapuk dapat digunakan sebagai bahan pembuat pupuk, dan dari biji juga dapat diolah untuk bahan campuran pakan ternak lainnya.
Potensi pengembangan produk olahan di dalam negeri masih cukup besar, sekalipun secara ekonomis perlu ditelaah lebih jauh. Hal itu penting karena pemanfaatan kapuk tidak saja di Indonesia tetapi menyebar menjadi kebutuhan masyarakat dunia.
Walaupun banyak produk sintetis, animo masyarakat terhadap kapuk masih cukup besar. Di antaranya dapat dilihat dari ekspor kapuk Indonesia ke negara-negara Asia, Timur Tengah dan Eropa/Amerika Serikat (AS).
Sayangnya, karena produksi yang masih kecil menyebabkan ekspor kapuk Indonesia juga sangat terbatas dengan nilai-rata-rata sekitar US$ 1 juta per tahun. Selama tahun 2002 menembus angka US$ 1,3 juta.
Adapun beberapa negara yang menjadi tujuan utama ekspor kapuk pada tahun 2003 adalah Singapura (US$ 237.851), Jepang (US$ 194.253), Belanda (US$ 142.930), Cina (US$ 141.964) dan Amerika Serikat (US$ 119.615). Sedangkan penurunan pasar juga terjadi untuk pasar di Taiwan, Thailand, Hong Kong, Inggris dan Prancis.
Dari segi nilai, ekspor kapuk masih jauh dibandingkan komoditas lain seperti jambu mete (US$ 31,2 juta, 2002), jahe segar (US$ 3,6 juta), pinang dikupas (US$ 6,6 juta) dan agar-agar (US$ 7,1 juta) serta tanaman perkebunan lainnya. Andaikata mulai dari teknik budi daya, pemeliharaan, dukungan sarana, teknologi pengolahan dan permodalan serta akses pasar yang kuat dapat dibangun dengan baik, maka akan menambah gairah untuk membudidayakannya. Lagi-lagi, jika tidak dilakukan pengembangan budi daya secepatnya maka java kapuk terancam punah dan tinggal kenangan semata.
Sumber: www.situshijau.co.id
0 comments:
Posting Komentar