|
Buruh Wanita di Pabrik Kapuk 1900 (Koleksi: Tropen Museum TMnr_60020393) |
Tulisan ini adalah Cuplikan tulisan dari buku Gerakan Serikat Buruh
Jaman Kolonial Hingga Orde Baru karangan Edy Cahyono dan Soegiri DS
Terbitan Hasta Mitra yang berbentuk e-book. Dengan cuplikan ini kita
dapat melihat bagaimana perkembangan transformasi petani menjadi buruh
dan penderitaan buruh dibawah kekuasaan modal yang mulai masuk ke Hindia
Belanda bagai banjir dengan perkebunan-perkebunannya hingga munculnya
organisasi buruh yang mencoba untuk memperjuangkan kaum buruh yang
tertindas pada masa kolonial Belanda.
Abad ke-19 adalah abad paling revolusioner dan penuh perubahan dalam
sejarah kepulauan yang saat ini dikenal sebagai Indonesia. Di awal abad
itu konsep negara—kolonial Hindia Belanda¬disiapkan oleh Herman Willem
Daendels (1808-1811)—seorang penga-gum revolusi Perancis—untuk
mempertegas pengelolaan wilayah koloni yang sebelumnya hanya merupakan
mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Di abad itu pula struktur masyarakat kapitalistik terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM)
[1] danJavasche Bank
[2] didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha Eropa mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik,
[3]
sementara kaum bumiputera disiapkan menjadi buruh. Perjalanan
perburuhan sejak jaman kolonial Hindia Berlanda tonggak pentingnya
adalah 1830-1870 sebagai kurun
Cultuurstelsel, sedang setelah 1870,—pencanangan
Agrarische Wet—, adalah
jaman liberalism, tentu tidak semua aktivitas buruh dan serikat buruh
dapat dicakup di dalam tulisan ini. Namun paling tidak tonggak-tonggak
besar maupun peristiwa yang berpengaruh luas akan dicoba untuk
ditampilkan.
Di abad 19 ini telah ada buruh—karena industrial kapitalistik
(hubungan buruh dengan modal) untuk memproduksi barang dagangan secara
masal
(generalized commodity production) telah dimulai sejak
1830. Pada Mei 1842, saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di
kabupaten Batang—Karesidenan Pekalongan—di desa-desa Kaliepoetjang
Koelon, Karanganjar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman
tebu. Residen meminta tanah-tanah barn yang berkondisi balk untuk
dipakai menanam tebu dalam jangka dua tahun. Instruksi gubernemen ini
disampaikan langsung oleh bupati Batang kepada para kepala desa. Pada 22
Oktober, kontrolir Batang melaporkan, sejumlah 46 desa yang penduduknya
melakukan
cultuurdienst tebu untuk masa tanam tahun yang lalu
belum dilunasi upahnya untuk kerja musim panen tahun ini. Sebabnya,
mereka dianggap belum cukup memenuhi pajak
natura tebu yang hams diserahkan, yang ada dalam kontrak-kerja tahun 1841, dengan upah sebesar 14,22
gulden per kepala. Keadaan menggenting,
planter (penanam tebu) yang terlibat kerja
ondernemingtersebut tidak mau melunasi pajak
natura yang dibebankan melainkan justru berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah dari 14,22
gulden menjadi 25
gulden. Protes
planter ini terjadi pada 24 Oktober 1842, dan diikuti 600
planter dari 51 desa.
[4]
Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan berturut-turut. Gelombang
pertama berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai
tanggal 4 Agustus 1882 melanda empat pabrik gula (PG). Gelombang kedua
berlangsung dan tanggal 5 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1882, melanda
5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari tanggal 23
Agustus sampai pertengahan Oktober 1882, melanda 21 perkebunan. Lokasi
pemogokan adalah Kabupaten Kalasan (pabrik gula Barongan), Kabupaten
Sleman (PG. Padokan, PG. Cebongan, PG. Bantul). Isu pemogokan tersebut
adalah: 1). Upah; 2). kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3). kerja
jaga
(wachtdiensten) yang dilakukan 1 hari untuk setiap 7 hari; 4). kerja
moorgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim lagi; 5). upah tanam
(plaantloon) yang
sering tidak dibayar; 6). banyak pekerjaan tidak dibayar padahal itu
bukan kerja wajib; 7). harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik
terlalu murah bila dibandingkan harga pasar; 8). beberapa pengawas
Belanda sering memukul petani.
[5]
Dilihat dan jumlah orang dan desa yang terlibat protes tentu ini
protes besar. Namun disebabkan belum ada organisasi modem (serikat,
partai, dsb.), seringkali aktivitas politik buruh seperti melakukan
protes dan mogok belum menjadi perhatian para penulis, peneliti sejarah
sosial-politik. Hal serupa ini tentu bias didapatkan di berbagai wilayah
kantung (enclave) industri masa tersebut.
Bila kita membaca hasil-hasil penelitian abad ke-19 cenderung
diangkat persoalan protes petani. Sementara petani di Hindia Belanda
adalah petani yang tidak dapat dikategorikan sebagai farmer (man tanah kapitalis), namun lebih merupakan peasant (petani
g-urem/miskin). Kaum tani gurem ini untuk hidupnya hams bekerj a pada
industri-perkebunan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sehingga sebetulnya yang dimaksud dengan protes petani—dengan telah
adanya produksi barang dagangan secara massal—adalah buruh.
Sedikit penjelasan tentang petani di abad ke-19. Dalam konsepsi Barat
akses seseorang terhadap tanah akan menentukan seseorang
diklasifikasikan sebagai
farmer atau
worker (buruh). Sementara di masyarakat Asia
(Asiatic mode ofproduction) hal ini berbeda. Memang petani di pulau Jawa punya akses terhadap tanah negara
(souverein bezit). Hal
ini dalam konstruksi Van den Bosch adalah pranata bumiputra. Sedangkan
untuk mengolah tanah dugunakan ikatan-ikatan adat. Pengalokasian
sebidang tanah kepada satu keluarga, berarti pembebanan dari negara
(tradisional/kerajaan) atas petani untuk menuntut sebagian dan hasil
tanah tersebut bagi kepentingan penguasa bumiputra tertinggi
(souverein).[6] Di
dalam desa-desa terdapat distribusi periodik atas tanah, dan ada
surplus agrikultrur yang dialirkan atau diserahkan kepada bupati atau
raja dalam bentuk-bentuk upeti. Dengan menggunakan bentuk penguasaan
tanah-upeti seperti ini diterapkan suatu sistem yang mengandalkan
jalur-jalur ini, untuk memobilisasi petani menjadi buruh.
Thomas Stamford Raffles, dalam kurun pemerintahannya yang singkat di
Jawa (1811-1816), telah meletakkan dasar-dasar penting bagi perubahan
mendasar di Jawa. Dia menerapkan pengambil-alihan seluruh tanah di Jawa
menjadi milk negara
(domein), bagi dia tidak ada pemilikan
tanah pribadi/individual dalam masyarakat bumiputra. Raffles
menginterpretasikan gejala penye-rahan upeti pada para penguasa
bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Kebijakan Raffles
sebetulnya dipengaruhi oleh sistem sosial
Zamindar (“tuan-tanah’) yang ada di India, jajahan Inggris.
[7]
Oleh Van den Bosch, konsep Raffles tentang pemilikan tanah negara ini diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya
cultuursteisel dengan melakukan
modifikasi-modifikasi Seperti, jika dalam konsep Raffles, tanah yang
diambil negara itu sebagai upaya menarik uang dan petani karena petani
menjadi penyewa sehingga wajib membayar sewa tanah
(/andrente); oleh
den Bosch kini dibalik yaitu tanah-tanah dikembalikan kepada rakyat
bumiputra, namun pengembalian tanah-tanah tersebut disertai beban yakni
setiap petani yang mendapat atau menguasai tanah, wajib menanami tanah
tersebut dengan tanaman dagang konsumsi dunia, atau menyediakan din
untuk bekerja selama 66 hari pada
ondernemingonderneming pemerintah. Pewajiban kerja yang diajukan Bosch ini dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan kewajiban membayar pajak
(lanrente).[8]
Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai buruh semakin tidak
dilandaskan pada penguasaan tanah, seperti dilaporkan oleh
Commisie Umbgrove. Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak
sikep (petani kaya) yang juga dapat mencakup posisi
loerah, wedono dsb., jelas mempunyai akses terhadap tanah. Namun beberapa lapisan sosial di bawah seperti
menoempang, boedjang lebih merupakan buruh ketimbang lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial belakangan adalah potensial menjadi buruh.
[9] Dan meskipun di beberapa daerah terjadi perubahan istilah dan
sikep menjadi
kuli kenceng atau
kuli kendo hal ini tidak berarti mereka dapat dipaksa melepas hak-hak istimewa yang dimilikinya, atau turun statusnya menjadi
buruh tani. Mereka tetap bertahan sebagai klas petani-kaya yang tidak perlu menjual tenaga kerjanya pada orang lain, atau pada pabrik.
[10]
Setelah 1870 perkembangan industri menjadi demikian pesat. Jaman yang
dikenal sebagai Jaman Liberal ini direspon secara optimal oleh kalangan
swasta Eropa. Beberapa perusahaan perdagangan swasta mengambil alih
peran yang selama ini dilakukan oleh NHM, seperti Maclaine Watson (telah
berdiri sejak 1820), George Wehry (1862), Borneo Sumatra Maatschappij
(Borsumij) (1894). Dan beroperasi bank-bank swasta seperti
Nederlandsch-Indisch Escompto Maatschappij (1857), Nederlandsch Indisch
Handelsbank (1863), Rotterdamsche Bank (1863), Internationale Credit-en
Handelsvereeniging Rotterdam (Internatio) (1863) , Handelsvereeniging
Amsterdam (HVA) (1878), dan Koloniale Bank (1881), dan sebuah bank yang
terbatas operasinya di
Vorstenlanden, Dorrepaalsche Bank (1884).
[11] Karena aktivitas mereka mendukung dana industri pertanian/perkebunan, bank-bank tersebut dikenal pula sebagai
cultuurbanken.
Dalam hal pertanahan, para kapitalis perkebunan tersebut
diperkenankan melakukan penyewaan tanah jangka panjang, selama 75 tahun
disebut erfi,acht. Investasi tidak hanya di Pulau Jawa saja
namun juga merambah Pulau Sumatera. Bila Investasi di Jawa memerlukan
proses-proses panjang dalam mentrans-formasikan petani menjadi buruh;
struktur feodal/kerajaan menjadi struktur birokrasi kolonial. Hal ini
tidak terjadi dalam pembukaan Sumatera Timur.
Hal berbeda yang berkembang di Sumatera Timur adalah,
perkebunan-perkebunan tembakau dibangun mulai tahun 1863 di daerah Deli
oleh Jacobus Nienhuys, mendatangkan buruh-buruh dari luar wilayah
tersebut, seperti dari Semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura),
Pulau Jawa. Mereka diikat dengan kontrak. Dan kontrak tersebut tidak
dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha melarikan diri dari
tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai
poenale sanctie:[12]
suatu hukuman yang dalam ukuran sejaman pun sangat kejam yaitu dapat
berupa hukum cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh—Jacobus
Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij, menghukum cambuk 7 buruhnya hingga
mati, hal mana membuat dia pergi tergesa-gesa dan Sumatera Timur.
[13] Kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada bungalow tuan kebun dan kemaluannya digosok dengan lada.
[14]
Penyiksaan-penyiksaan ini, oleh Breman, disebut menjalankan produksi
menggunakan teror. Para pemilik perkebunan mempunyai otonomi begitu luas
sehingga perkebunan-perkebunan itu menjadi “negara dalam negara.”
Peristiwa aksi buruh menjadi tidak atau kurang muncul di dalam abad ke-19 lebih disebabkan belum ada organisasi serikat buruh.
Serikat-serikat buruh orang-orang Eropa di Hindia Belanda berdiri
sejak akhir abad ke-19. Berturut-turut lahir Nederlandsch-Indisch
Onderwijzers Genootschap (NIOG) tahun 1897; Staatsspoor Bond (SS Bond)
didnikan di Bandung pada 1905; Suikerbond (1906); Cultu.urbond,
Vereeniging v. Assistenten in Deli (1907); Vereeniging voor Spoor-en
Tramweg Personeel in Ned-Indie, berdiri 1908 di Semarang; Bond van
Geemployeerden bij de Suikerindustrie op Java (Suikerbond) tahun 1909 di
Surabaya; Bond van Ambtenaren bij de In-en Uitvoerrechten en Accijnzijn
in Ned-Indie (Duanebond) tahun 1911; Bond van Ambtenaren bij den Post-,
Telegraaft-en Telefoondienst (Postbond) tahun 1912; Burgerlijke Openbare Werken in Ned-Indie (BOWNI) tahun 1912; Bond van Pandhuis Personeel (Pandhuisbond) (1913).
Ciri serikat-serikat buruh ini adalah: Pertama, tidak ada motif-motif
ekonomi dalam proses pendiriannya. Tidak ada masalah pada sekitar tahun
berdirinya serikat-serikat buruh tersebut misalnya, soal rendahnya
tingkat upah, atau pun buruknya kondisi sosial tenaga kerja “impor.”
Faktor yang mendorong pembentukan mereka adalah pertumbuhan pergerakan
buruh di Belanda.
[15]
Pada sekitar 1860-1870 di Nederland sedang mengalami pertumbuhan
pergerakan buruh. Dan sejak 1878 ada pengaruh gerakan sosialdemokrat
yang mendorong berdirinya National Arbeids Secretariats (NAS) sebagai
induk organisasi.
[16]
Pada saat itu di Hindia Belanda ada ketentuan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang
melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa
ijin khusus dan pemerintah kolonial. Namun disebabkan pada tahun 1903
pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi susunan pemerintah
kolonial seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Batavia menj adi suatu gemente dan pengaturannya dilaksanakan oleh gementeraad (dewan kota). Menjadikan 111 RR tidak berlaku.
“hak berserikat dan berkoempoel diakoe tentang praktijknja, artinja
diberi kelapangan, meskipoen beloem ditetapkan didalam oendang-oendang.
Dengan segera peroebahan-peroebahan itoe kelihatan pengaroehnja: gerakan
politiek jang amat ramai terbitlah dalam golongan bangsa Eropah.”
[17]
Pembentukan serikat-serikat oleh buruh “impor” ini selain merupakan
pengaruh dari perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula
merupakan bagian dari kepentingan “politik” terbatas kehidupan kota.
Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaan serikat-serikat buruh ini
tidak hanya merekrut anggota “impor” saja, akan tetapi juga menerima
kalangan bumiputera. Ini terjadi sebagai pengaruh semangat etis. Program
Pendidikan yang merupakan salah satu program dalam politik balas jasa Etische Politiek di
awal 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual
bumiputera. Ditambah lagi dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh
“impor,” telah memicu serikat buruh dibangun oleh kaum bumiputera dalam
masa-masa sesudahnya. Beberapa di antaranya yang dapat disebutkan
adalah:
Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (PBP) tahun 1911; Persatoean Goeroe
Bantoe (PGB) tahun 1912; Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB)
berdiri tahun 1912; Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (PPPB)
tahun 1914; Opium Regie Bond (ORB) dan Vereeniging van Indlandsch
Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIPBOUW) tahun 1916; Personeel
Fabriek Bond (PFB) tahun 1917.
Di kalangan Tionghoa pada 26 September 1909, di Jakarta, dibentuk
Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian
kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian
menjadi inti dan Federasi Kaum Boeroeh Tionghoa.
Perhimpoenan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) didirikan tahun 1917, di
lingkungan industri gula. Organisasi ini dikembangkan dan Porojitno yang
dibentuk oleh Sarekat Islam (SI) dan ISDV Surabaya pada tahun 1916.
PKBT kemudian dipecah menjadi dua di tahun 1918 yaitu Perhimpoenan Kaoem
Tani (PKT) dan Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Onderneming (PKBO). PKBO
kemudian digabung dengan Personeel Fabriek Bond (PFB), sebuah organisasi
yang dibentuk oleh Soerjopranoto tahun 1917.
Vereniging Sp00r-Traam Personen (VSTP) didirikan pada 14 November 1908 di Semarang, Jawa Tengah oleh 63 buruh “impor” Eropa yang bekerja pada 3 jalur kereta
NederlanschIndische Spoorweg Maatschappij (NIS),
Semarang-Joana Maatschappij Stoomtram (SJS) dan
Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
[18]
Rapat umum VSTP pada Pebruari 1914 diputuskan dan posisi tujuh anggota
eksekutif tiga diambil dan kaum bumiputera. Jumlah anggota VSTP diakhir
1913 adalah 1.242 (673 Eropa dan 569 Bumiputera), dan pada Januari 1915
beranggotakan 2.292 dan anggota bumiputera telah mencapai 1.439. Tahun
1915 VSTP menerbitkan
orgaan (surat kabar)
Si Tetap, dalam
bahasa Melayu. Moehamad Joesoefmenjadi editornya. Joesoef pun terpilih
menjadi Ketua Pusat bersama pemuda berusia 16 tahun, Semaoen.
Semaoen kemudian masuk ke VSTP cabang Surabaya pada paruh akhir 1914,
dan dia terpilih menjadi ketua cabang di awal 1915. Pada 1 Juli 1916,
Semaoen pindah ke Semarang menjadi propagandis utama VSTP dan editor Si Tetap. Semaoen
begitu gigih membangun VSTP. Pada 1920 dia telah membangun 93
(sembilan-puluh tiga) cabang di Pulau Jawa (Cirebon, Semarang, Yogya,
Surabaya, Madiun), beberapa di pantai Barat Sumatera dan pada perkebunan
Deli. Anggota VSTP pada Mei 1923 telah mencapai 13.000 orang, atau
seperempat buruh industri perkeretaapian Hindia Belanda. Tercatat 60
persen anggota pasti membayar iuran, sisanya membayar iuran organisasi
pula namun tidak terlalu patuh.
Pemogokan VSTP pada April 1923 berakibat Semaoenberdasarkan
Gouvernement Besluit tanggal 4 Agustus 1923— diasingkan ke Nederland. Dia berangkat pada 18 Agustus 1923 menumpang kapal
S.S. Koningin der Nederlanden.[19]
Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) adalah gagasan
Sosrokardono, ketua PPPB (Pegawai Pegadaian), dilontarkan Mei 1919. Hal
ini juga dilontarkan dalam Kongres SI ke IV, Oktober 1919, di Surabaya.
Soerjopranoto memperkuat untuk realisasi PPKB. Berdirilah PPKB dengan
Semaoen sebagai ketua dan Soerjopranoto sebagai wakil ketua. Maksud dan
tujuan PPKB seperti di dalam anggaran dasar pasal 2 adalah:
“la bermaksud mengadjak dan mengadakan persatoean antara sederadjat
kaum buruh supaja dapat suatu kekuasaan; kekuasaan itoe akan
dipergunakan umumnja buat memperhatikan keperluannja kaum buruh dalam
perkaranja lahir dan batin, jang pertama keperluannja lid2nja vakbond jang sudah bersatu dalam PPKB.”
Cara yang akan ditempuh:
“PPKB akan memasakkan itu dengan 3 djalan long ada, jaitu:
“berichtiar mendapat kuasa dalam pamerintahan negeri supaja negeri
terperintah—oleh—rakjat—sendiri mengurus djalannja redjeki”
(sociaal democratisch `Mengeratkan kaum buruh dalam pekerdjaannja guna merobah nasibnja”
(vakstrijd, mengadakan perdagangan—oleh—dan—boeat—rakjat (koperasi).”
[20]
Kongres I PPKB dilakukan pada 1 Agustus 1920 di Semarang. Pada bulan
Juni 1921 diadakan suatu konperensi di Yogya. Hal ini menimbulkan
perpecahan PPKB. Sehingga kemudian kedudukan organisasi dipindah dari
Semarang ke Yogyakarta. Pecahan PPKB membentuk gabungan baru bernama
Revolutionaire Vakcentrale diketuai oleh Semaoen.
Pemogokan-pemogokan dengan mengandalkan organisasi mulai gencar
terjadi di tahun 1920-an. PFB tahun 1920 memobilisasi pemogokan
disebabkan majikan menolak mengakui PFB sebagai organisasi yang mewakili
anggotanya. Di Surabaya pada 15 Nopember 1920 pada Droogdok Maatschappij terjadi
pemogokan diikuti sekitar 800 buruh. Agustus 1921 pemogokan terjadi di
lingkungan buruh pelabuhan Surabaya. Medio Januari 1922 pegawai
pegadaian mogok mencakup 79 rumah-gadai dengan sekitar 1.200 buruh
(PPPB). Buruh kereta-api didukung sekitar 8.500 buruh mogok pada April
1923 (VSTP).
Dalam merespon aksi-aksi buruh tersebut pemerintah kolonial
mengadakan peraturan “Dewan Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Djawa dan
Madura” yang diharapkan menjadi perantara bila terjadi perselisihan
industrial. Namun kemudian pemerintah kolonial merasakan bahwa pemogokan
mempunyai tujuan politik untuk menggulingkan kekuasaan mereka. Untuk
itu pada 10 Mei 1923 diumumkan undang-undang larangan mogok yang dikenal
dengan artike1161 bis. Memang artike1161 bis dikeluarkan sebagai respon
terhadap pemogokan VSTP.
Namun artikel ini bukan alat ampuh menyetop pemogokan. Pemogokan di
perusahaan percetakan di Semarang terjadi pada 21 Juli 1925. Menyusul
pemogokan di C.B.Z. pada 1 Agustus 1925; diikuti dengan pemogokan di
Stoomboot en Prauwenveer yang diikuti sekitar 1.000 anggota yang
berakhir pada September 1925. Percetakan Van Dorp di Surabaya juga mengalami pemogokan pada 1 September; sedang pada 5 Oktober dan 9 Nopember pemogokan terjadi di pabrik mesin N.I. Industrie dan Braat. Serikat
Boeroeh Bengkel dan Elektris (SBBE) mogok pada 14 Desember 1925.
Mencakup 7 pabrik mesin dan konstruksi. Penyebab pemogokan adalah Vereeniging van Machinefabrieken yang membawahi 7 pabrik tersebut memutuskan tidak ingin berhubungan dengan SBBE25
Pemogokan-pemogokan yang semakin menjalar tersebut direspon gubememen
dengan menerbitkan peraturan baru yang mendukung artikel 161 bis:
Dioendangken dengen beslit radja, jaitoe tentang doea artikel No. 153 bis dan 153 ter dalem W.v.S.
153 Bis
Barang siapa, jang sengadja melahirken dengen perkata’an, toelisan atau gambar, jang bermaksoed, baik sindiran, baik tengah2
atau bisa didoega-doega, mengganggoe ketentereman oemoem, baik
berkehendak atau setoedjoe dengen angan-angan jang mendjatoehken atau
menjerang dari kekoeasa’an di negeri Belanda atau di Indonesia, aken
dihoekoem dengen hoekoeman pendjara setinggi-tingginja enam tahoen atau
denda oeang setinggi2nja tiga ratoes roepiah.
153 TER
Barang siapa, jangmenjetoedjoei atau menjebarken dengen toelisan atau
gambar, jang bermaksoed baik sindiran, tengah-tengah atau dengen
perkataan lain-lain, jang bisa menjebabken kegadoehan ketenteraman
oemoem, atau mendjatoehken atau menjerang kekoeasa’an jang ada di negeri
Belanda atau di Indonesia, dengen bermaksoed itoe di oemoemken atau
membesarken, menjebar, memberitahoeken pada oemoem atau berkata, aken
dihoekoem dengen hoekoeman pendjara setinggi-tingginja lima tahoen atau
denda oeang setinggi-tingginya tiga ratoes roepiah.
Ini beslit radja, aken berlakoe molai tg. 1 Mei 1926.
[21]
Dengan keluarnya peraturan pemerintah kolonial tersebut bisa
dipastikan Gerakan Buruh pada awal-awal abad ke-20 mengalami
represifitas dan banyak para pemimpinnya yang ditangkap dan dibuang ke
pengasingan. Perjuangan melawan kapitalisme memang perjuangan yang tak
pernah selesai…..
Read more...