Pedagang Kapuk yang Mencoba Tetap Eksis
>> Jumat, 04 Juni 2010
Jakarta - Matahari tepat berada di garis katulistiwa. Cuaca cerah dengan sedikit awan membuat matahari makin terasa menyengat kulit. Di tengah terik matahari itu, seorang pria setengah baya tampak bersepeda keluar dari Gang Rante, Gunung Batu, Bogor.
Pria bernama Rozi itu membawa kain yang digulung berwarna merah biru dengan strip putih. Di bagian belakang, tampak dua karung besar berisi kapuk-kapuk berwarna putih.
Setiap hari, Rozi keluar masuk gang untuk menawarkan jasa perbaikan kasur-kasur yang berbahan dasar kapuk, dari pohon randu. "Ya beginilah Pak. Tiap hari saya ke sini untuk jualan kapuk," kata Rozi.
Rozi ditemui detikcom di sebuah warung makan atau tepatnya di depan Markas Bataliyon Infanteri 315/Garuda di Jalan Mayjen Ishak Djuarsa, Gunung Batu, Bogor Barat, Senin (31/5/2010) siang.
Rozi bercerita, telah menjadi pedagang kapuk dan membetulkan kasur kapuk warisan orangtuanya. Dirinya sudah mulai berjualan kapuk sejak remaja, pada akhir tahun 1970-an. Biasanya Rozi menawarkan pembuatan kasur kapuk atau memperbaiki kasur kapuk lama secara door to door.
"Biasanya sih sudah ada langganannya. Tapi sekarang ini sudah makin hilang aja langganan. Maklum, kasur kasur kapuk udah jarang yang produksi lagi, yang jualan kapuk juga udah jarang," ujarnya sambil mengibaskan topi dan meminum air dari botol.
Rozi mengatakan, sekilo kapuk yang dijualnya seharga Rp 12.000. Untuk membuat kasur baru, setidaknya pemesan atau langganannya harus merogoh kocek antara Rp 300.000, karena setidaknya membutuhkan kapuk seberat 30 kilogram.
"Mungkin kapuk dianggap mahal, karena memang sangat jarang pohonnya (pohon randu). Makanya, sekarang orang lebih banyak memilih beli kasur busa. Lebih murah dan nggak usah dijemur-jemur segala," kata Rosi.
Hal senada juga diungkapkan oleh pedagang kasur kapuk asal Lampung, Sigit Kurniawan. "Sekarang ini banyak pohon Randu (Kapuk) yang ditebangin. Akhirnya produk kasur kapuk seret juga. Banyak penebangan liar. Memang selama ini enggak ada perkebunan khusus yang menanam Randu. Hanya orang perorang aja," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Sigit, dirinya juga harus mencari sejumlah orang yang meiliki atau menanam pohon Randu. "Ya kami harus ngambil daro orang lain juga. Karena ini sudah langka di daerah saya, maka saya pesan kapuk dari Semarang, Jawa Tengah. Harganya per kilo itu sekitar Rp 25.000," katanya.
"Nah, kalau kapuk dari kampung saya lebih mahal, karena belinya kotor, karena masih ada biji-biji yang
kecil dan hitam itu. Harganya per kilo sih sekitar Rp 10.000," kata Sigit.
Dengan semakin langkanya kasur kapuk ini. Sigit berharap, agar penebangan pohon randu secara liar bisa diberantas. "Ya jangan seenaknya aja. Ya, jangan sampai mematika rezeki orang lain lah. Kasian lah sama pengusaha kecil kayak kita," pintanya.
Sigit mengatakan, usahanya yang merupakan warisan orangtuanya ini sudah langka. Padahal di Lampung sendiri sudah berdiri Paguyuban Pedagang Kasur Kapuk sejak 1990-an. Anggotanya, ada sekitar 200an orang itu.
Saat ini, para pedagang ini sangat kesulitan mencari kapuk dari Pohon Randu. Biasanya mereka berjualan secara berkeliling, baik berjalan kaki, sepeda atau motor.
Begitulah nasib kasur dan bantal kapuk. Mereka menghilang bersama mimpi-mimpi orang-orang yang tidur di atasnya. Dengarkanlah alunan lagu Randu yang dinyanyikan Andi Merie Mattalatta. "Malam mengibaskan rindu, tempatku berteduh...Dedaunan Randu bersatu fajar pagi...Siap berlari, tinggalkan mimpi...Melangkah kita berlari...Randu ayunkan langkahku...".
Pria bernama Rozi itu membawa kain yang digulung berwarna merah biru dengan strip putih. Di bagian belakang, tampak dua karung besar berisi kapuk-kapuk berwarna putih.
Setiap hari, Rozi keluar masuk gang untuk menawarkan jasa perbaikan kasur-kasur yang berbahan dasar kapuk, dari pohon randu. "Ya beginilah Pak. Tiap hari saya ke sini untuk jualan kapuk," kata Rozi.
Rozi ditemui detikcom di sebuah warung makan atau tepatnya di depan Markas Bataliyon Infanteri 315/Garuda di Jalan Mayjen Ishak Djuarsa, Gunung Batu, Bogor Barat, Senin (31/5/2010) siang.
Rozi bercerita, telah menjadi pedagang kapuk dan membetulkan kasur kapuk warisan orangtuanya. Dirinya sudah mulai berjualan kapuk sejak remaja, pada akhir tahun 1970-an. Biasanya Rozi menawarkan pembuatan kasur kapuk atau memperbaiki kasur kapuk lama secara door to door.
"Biasanya sih sudah ada langganannya. Tapi sekarang ini sudah makin hilang aja langganan. Maklum, kasur kasur kapuk udah jarang yang produksi lagi, yang jualan kapuk juga udah jarang," ujarnya sambil mengibaskan topi dan meminum air dari botol.
Rozi mengatakan, sekilo kapuk yang dijualnya seharga Rp 12.000. Untuk membuat kasur baru, setidaknya pemesan atau langganannya harus merogoh kocek antara Rp 300.000, karena setidaknya membutuhkan kapuk seberat 30 kilogram.
"Mungkin kapuk dianggap mahal, karena memang sangat jarang pohonnya (pohon randu). Makanya, sekarang orang lebih banyak memilih beli kasur busa. Lebih murah dan nggak usah dijemur-jemur segala," kata Rosi.
Hal senada juga diungkapkan oleh pedagang kasur kapuk asal Lampung, Sigit Kurniawan. "Sekarang ini banyak pohon Randu (Kapuk) yang ditebangin. Akhirnya produk kasur kapuk seret juga. Banyak penebangan liar. Memang selama ini enggak ada perkebunan khusus yang menanam Randu. Hanya orang perorang aja," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Sigit, dirinya juga harus mencari sejumlah orang yang meiliki atau menanam pohon Randu. "Ya kami harus ngambil daro orang lain juga. Karena ini sudah langka di daerah saya, maka saya pesan kapuk dari Semarang, Jawa Tengah. Harganya per kilo itu sekitar Rp 25.000," katanya.
"Nah, kalau kapuk dari kampung saya lebih mahal, karena belinya kotor, karena masih ada biji-biji yang
kecil dan hitam itu. Harganya per kilo sih sekitar Rp 10.000," kata Sigit.
Dengan semakin langkanya kasur kapuk ini. Sigit berharap, agar penebangan pohon randu secara liar bisa diberantas. "Ya jangan seenaknya aja. Ya, jangan sampai mematika rezeki orang lain lah. Kasian lah sama pengusaha kecil kayak kita," pintanya.
Sigit mengatakan, usahanya yang merupakan warisan orangtuanya ini sudah langka. Padahal di Lampung sendiri sudah berdiri Paguyuban Pedagang Kasur Kapuk sejak 1990-an. Anggotanya, ada sekitar 200an orang itu.
Saat ini, para pedagang ini sangat kesulitan mencari kapuk dari Pohon Randu. Biasanya mereka berjualan secara berkeliling, baik berjalan kaki, sepeda atau motor.
Begitulah nasib kasur dan bantal kapuk. Mereka menghilang bersama mimpi-mimpi orang-orang yang tidur di atasnya. Dengarkanlah alunan lagu Randu yang dinyanyikan Andi Merie Mattalatta. "Malam mengibaskan rindu, tempatku berteduh...Dedaunan Randu bersatu fajar pagi...Siap berlari, tinggalkan mimpi...Melangkah kita berlari...Randu ayunkan langkahku...".
1 comments:
Posting Komentar