KAMI SUKA MEMBINA KERJASAMA | KAMI MENJAGA KUALITAS PRODUK | KEPUASAN ANDA ADALAH PRIORITAS KAMI | HOTLINE CALL: (+62) 08562700040



Perkembangan Buruh dan Organisasi Buruh Awal Abad 20

>> Rabu, 17 Juni 2015

Buruh Wanita di Pabrik Kapuk 1900 (Koleksi: Tropen Museum TMnr_60020393)
Tulisan ini adalah Cuplikan tulisan dari buku Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Hingga Orde Baru karangan Edy Cahyono dan Soegiri DS Terbitan Hasta Mitra yang berbentuk e-book. Dengan cuplikan ini kita dapat melihat bagaimana perkembangan transformasi petani menjadi buruh dan penderitaan buruh dibawah kekuasaan modal yang mulai masuk ke Hindia Belanda bagai banjir dengan perkebunan-perkebunannya hingga munculnya organisasi buruh yang mencoba untuk memperjuangkan kaum buruh yang tertindas pada masa kolonial Belanda.

Abad ke-19 adalah abad paling revolusioner dan penuh perubahan dalam sejarah kepulauan yang saat ini dikenal sebagai Indonesia. Di awal abad itu konsep negara—kolonial Hindia Belanda¬disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1808-1811)—seorang penga-gum revolusi Perancis—untuk mempertegas pengelolaan wilayah koloni yang sebelumnya hanya merupakan mitra perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Di abad itu pula struktur masyarakat kapitalistik terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM)[1] danJavasche Bank[2] didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha Eropa mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik,[3] sementara kaum bumiputera disiapkan menjadi buruh. Perjalanan perburuhan sejak jaman kolonial Hindia Berlanda­ tonggak pentingnya adalah 1830-1870 sebagai kurun Cultuurstelsel, sedang setelah 1870,—pencanangan Agrarische Wet, adalah jaman liberalism, tentu tidak semua aktivitas buruh dan serikat buruh dapat dicakup di dalam tulisan ini. Namun paling tidak tonggak-tonggak besar maupun peristiwa yang berpengaruh luas akan dicoba untuk ditampilkan.

Di abad 19 ini telah ada buruh—karena industrial kapitalistik (hubungan buruh dengan modal) untuk memproduksi barang ­dagangan secara masal (generalized commodity production) telah dimulai sejak 1830. Pada Mei 1842, saat terjadi rotasi penanaman lahan tebu di kabupaten Batang—Karesidenan Pekalongan—di desa-desa Kaliepoetjang Koelon, Karanganjar dan Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman tebu. Residen meminta tanah-tanah barn yang berkondisi balk untuk dipakai menanam tebu dalam jangka dua tahun. Instruksi gubernemen ini disampaikan langsung oleh bupati Batang kepada para kepala desa. Pada 22 Oktober, kontrolir Batang melaporkan, sejumlah 46 desa yang penduduknya melakukan cultuurdienst tebu untuk masa tanam tahun yang lalu belum dilunasi upahnya untuk kerja musim panen tahun ini. Sebabnya, mereka dianggap belum cukup memenuhi pajak natura tebu yang hams diserahkan, yang ada dalam kontrak-kerja tahun 1841, dengan upah sebesar 14,22 gulden per kepala. Keadaan menggenting, planter (penanam tebu) yang terlibat kerja ondernemingtersebut tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan melainkan justru berbalik melakukan tuntutan untuk kenaikan upah dari 14,22 gulden menjadi 25 gulden. Protes planter ini terjadi pada 24 Oktober 1842, dan diikuti 600 planter dari 51 desa.[4]

Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan berturut-turut. Gelombang pertama berlangsung sejak awal minggu terakhir bulan Juli 1882 sampai tanggal 4 Agustus 1882 melanda empat pabrik gula (PG). Gelombang kedua berlangsung dan tanggal 5 Agustus sampai dengan 22 Agustus 1882, melanda 5 pabrik dan perkebunan. Gelombang ketiga berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai pertengahan Oktober 1882, melanda 21 perkebunan. Lokasi pemogokan adalah Kabupaten Kalasan (pabrik gula Barongan), Kabupaten Sleman (PG. Padokan, PG. Cebongan, PG. Bantul). Isu pemogokan tersebut adalah: 1). Upah; 2). kerja gugur-gunung yang terlalu berat; 3). kerja jaga (wachtdiensten) yang dilakukan 1 hari untuk setiap 7 hari; 4). kerja moorgan yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim lagi; 5). upah tanam (plaantloon) yang sering tidak dibayar; 6). banyak pekerjaan tidak dibayar padahal itu bukan kerja wajib; 7). harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik terlalu murah bila dibandingkan harga pasar; 8). beberapa pengawas Belanda sering memukul petani.[5]

Dilihat dan jumlah orang dan desa yang terlibat protes tentu ini protes besar. Namun disebabkan belum ada organisasi modem (serikat, partai, dsb.), seringkali aktivitas politik buruh seperti melakukan protes dan mogok belum menjadi perhatian para penulis, peneliti sejarah sosial-politik. Hal serupa ini tentu bias didapatkan di berbagai wilayah kantung (enclave) industri masa tersebut.
Bila kita membaca hasil-hasil penelitian abad ke-19 cenderung diangkat persoalan protes petani. Sementara petani di Hindia Belanda adalah petani yang tidak dapat dikategorikan sebagai farmer (man tanah kapitalis), namun lebih merupakan peasant (petani g-urem/miskin). Kaum tani gurem ini untuk hidupnya hams bekerj a pada industri-perkebunan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga sebetulnya yang dimaksud dengan protes petani—dengan telah adanya produksi barang dagangan secara massal—adalah buruh.

Sedikit penjelasan tentang petani di abad ke-19. Dalam konsepsi Barat akses seseorang terhadap tanah akan menentukan seseorang diklasifikasikan sebagai farmer atau worker (buruh). Sementara di masyarakat Asia (Asiatic mode ofproduction) hal ini berbeda. Memang petani di pulau Jawa punya akses terhadap tanah negara (souverein bezit). Hal ini dalam konstruksi Van den Bosch adalah pranata bumiputra. Sedangkan untuk mengolah tanah dugunakan ikatan-ikatan adat. Pengalokasian sebidang tanah kepada satu keluarga, berarti pembebanan dari negara (tradisional/kerajaan) atas petani untuk menuntut sebagian dan hasil tanah tersebut bagi kepentingan penguasa bumiputra tertinggi (souverein).[6] Di dalam desa-desa terdapat distribusi periodik atas tanah, dan ada surplus agrikultrur yang dialirkan atau diserahkan kepada bupati atau raja dalam bentuk-bentuk upeti. Dengan menggunakan bentuk penguasaan tanah-upeti seperti ini diterapkan suatu sistem yang mengandalkan jalur-jalur ini, untuk memobilisasi petani menjadi buruh.

Thomas Stamford Raffles, dalam kurun pemerintahannya yang singkat di Jawa (1811-1816), telah meletakkan dasar-dasar penting bagi perubahan mendasar di Jawa. Dia menerapkan pengambil-alihan seluruh tanah di Jawa menjadi milk negara (domein), bagi dia tidak ada pemilikan tanah pribadi/individual dalam masyarakat bumiputra. Raffles menginterpretasikan gejala penye-rahan upeti pada para penguasa bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara. Kebijakan Raffles sebetulnya dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar (“tuan-tanah’) yang ada di India, jajahan Inggris.[7]

Oleh Van den Bosch, konsep Raffles tentang pemilikan tanah negara ini diadaptasi dan digunakan untuk berlangsungnya cultuursteisel dengan melakukan modifikasi-modifikasi Seperti, jika dalam konsep Raffles, tanah yang diambil negara itu sebagai upaya menarik uang dan petani karena petani menjadi penyewa sehingga wajib membayar sewa tanah (/andrente); oleh den Bosch kini dibalik yaitu tanah-tanah dikembalikan kepada rakyat bumiputra, namun pengembalian tanah-tanah tersebut disertai beban yakni setiap petani yang mendapat atau menguasai tanah, wajib menanami tanah tersebut dengan tanaman dagang konsumsi dunia, atau menyediakan din untuk bekerja selama 66 hari pada onderneming­onderneming pemerintah. Pewajiban kerja yang diajukan Bosch ini dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan kewajiban membayar pajak (lanrente).[8]

Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai buruh semakin tidak dilandaskan pada penguasaan tanah, seperti dilaporkan oleh Commisie Umbgrove. Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak sikep (petani kaya) yang juga dapat mencakup posisi loerah, wedono dsb., jelas mempunyai akses terhadap tanah. Namun beberapa lapisan sosial di bawah seperti menoempang, boedjang lebih merupakan buruh ketimbang lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial belakangan adalah potensial menjadi buruh.[9] Dan meskipun di beberapa daerah terjadi perubahan istilah dan sikep menjadi kuli kenceng atau kuli kendo hal ini tidak berarti mereka dapat dipaksa melepas hak-hak istimewa yang dimilikinya, atau turun statusnya menjadi buruh tani. Mereka tetap bertahan sebagai klas petani-kaya yang tidak perlu menjual tenaga kerjanya pada orang lain, atau pada pabrik.[10]

Setelah 1870 perkembangan industri menjadi demikian pesat. Jaman yang dikenal sebagai Jaman Liberal ini direspon secara optimal oleh kalangan swasta Eropa. Beberapa perusahaan perdagangan swasta mengambil alih peran yang selama ini dilakukan oleh NHM, seperti Maclaine Watson (telah berdiri sejak 1820), George Wehry (1862), Borneo Sumatra Maatschappij (Borsumij) (1894). Dan beroperasi bank-bank swasta seperti Nederlandsch-Indisch Escompto Maatschappij (1857), Nederlandsch Indisch Handelsbank (1863), Rotterdamsche Bank (1863), Internationale Credit-en Handelsvereeniging Rotterdam (Internatio) (1863) , Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) (1878), dan Koloniale Bank (1881), dan sebuah bank yang terbatas operasinya di Vorstenlanden, Dorrepaalsche Bank (1884).[11] Karena aktivitas mereka mendukung dana industri pertanian/perkebunan, bank-bank tersebut dikenal pula sebagai cultuurbanken.

Dalam hal pertanahan, para kapitalis perkebunan tersebut diperkenankan melakukan penyewaan tanah jangka panjang, selama 75 tahun disebut erfi,acht. Investasi tidak hanya di Pulau Jawa saja namun juga merambah Pulau Sumatera. Bila Investasi di Jawa memerlukan proses-proses panjang dalam mentrans-formasikan petani menjadi buruh; struktur feodal/kerajaan menjadi struktur birokrasi kolonial. Hal ini tidak terjadi dalam pembukaan Sumatera Timur.

Hal berbeda yang berkembang di Sumatera Timur adalah, perkebunan-perkebunan tembakau dibangun mulai tahun 1863 di daerah Deli oleh Jacobus Nienhuys, mendatangkan buruh-buruh dari luar wilayah tersebut, seperti dari Semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura), Pulau Jawa. Mereka diikat dengan kontrak. Dan kontrak tersebut tidak dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha melarikan diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai poenale sanctie:[12] suatu hukuman yang dalam ukuran sejaman pun sangat kejam yaitu dapat berupa hukum cambuk untuk buruh laki-laki hingga dibunuh—Jacobus Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij, menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati, hal mana membuat dia pergi tergesa-gesa dan Sumatera Timur.[13] Kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada bungalow tuan kebun dan kemaluannya digosok dengan lada.[14] Penyiksaan-penyiksaan ini, oleh Breman, disebut menjalankan produksi menggunakan teror. Para pemilik perkebunan mempunyai otonomi begitu luas sehingga perkebunan-perkebunan itu menjadi “negara dalam negara.”

Peristiwa aksi buruh menjadi tidak atau kurang muncul di dalam abad ke-19 lebih disebabkan belum ada organisasi serikat buruh.

Serikat-serikat buruh orang-orang Eropa di Hindia Belanda berdiri sejak akhir abad ke-19. Berturut-turut lahir Nederlandsch-Indisch Onderwijzers Genootschap (NIOG) tahun 1897; Staatsspoor Bond (SS Bond) didnikan di Bandung pada 1905; Suikerbond (1906); Cultu.urbond, Vereeniging v. Assistenten in Deli (1907); Vereeniging voor Spoor-en Tramweg Personeel in Ned-Indie, berdiri 1908 di Semarang; Bond van Geemployeerden bij de Suikerindustrie op Java (Suikerbond) tahun 1909 di Surabaya; Bond van Ambtenaren bij de In-en Uitvoerrechten en Accijnzijn in Ned-Indie (Duanebond) tahun 1911; Bond van Ambtenaren bij den Post-, Telegraaft-en Telefoondienst (Postbond) tahun 1912; Burgerlijke Openbare Werken in Ned-Indie (BOWNI) tahun 1912; Bond van Pandhuis Personeel (Pandhuisbond) (1913).

Ciri serikat-serikat buruh ini adalah: Pertama, tidak ada motif-motif ekonomi dalam proses pendiriannya. Tidak ada masalah pada sekitar tahun berdirinya serikat-serikat buruh tersebut misalnya, soal rendahnya tingkat upah, atau pun buruknya kondisi sosial tenaga kerja “impor.” Faktor yang mendorong pembentukan mereka adalah pertumbuhan pergerakan buruh di Belanda.[15] Pada sekitar 1860-1870 di Nederland sedang mengalami pertumbuhan pergerakan buruh. Dan sejak 1878 ada pengaruh gerakan sosial­demokrat yang mendorong berdirinya National Arbeids Secretariats (NAS) sebagai induk organisasi.[16]

Pada saat itu di Hindia Belanda ada ketentuan pasal 111 Regeling Reglement (RR) yang melarang dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah organisasi tanpa ijin khusus dan pemerintah kolonial. Namun disebabkan pada tahun 1903 pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi susunan pemerintah kolonial seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Batavia menj adi suatu gemente dan pengaturannya dilaksanakan oleh gementeraad (dewan kota). Menjadikan 111 RR tidak berlaku.

“hak berserikat dan berkoempoel diakoe tentang praktijknja, artinja diberi kelapangan, meskipoen beloem ditetapkan didalam oendang-oendang. Dengan segera peroebahan-peroebahan itoe kelihatan pengaroehnja: gerakan politiek jang amat ramai terbitlah dalam golongan bangsa Eropah.”[17]

Pembentukan serikat-serikat oleh buruh “impor” ini selain merupakan pengaruh dari perkembangan gerakan buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan bagian dari kepentingan “politik” terbatas kehidupan kota. Perkembangan selanjutnya dalam keanggotaan serikat-serikat buruh ini tidak hanya merekrut anggota “impor” saja, akan tetapi juga menerima kalangan bumiputera. Ini terjadi sebagai pengaruh semangat etis. Program Pendidikan yang merupakan salah satu program dalam politik balas jasa Etische Politiek di awal 1900 memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera. Ditambah lagi dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh “impor,” telah memicu serikat buruh dibangun oleh kaum bumiputera dalam masa-masa sesudahnya. Beberapa di antaranya yang dapat disebutkan adalah:

Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (PBP) tahun 1911; Persatoean Goeroe Bantoe (PGB) tahun 1912; Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) berdiri tahun 1912; Persatoean Pegawai Pegadaian Boemipoetera (PPPB) tahun 1914; Opium Regie Bond (ORB) dan Vereeniging van Indlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIPBOUW) tahun 1916; Personeel Fabriek Bond (PFB) tahun 1917.

Di kalangan Tionghoa pada 26 September 1909, di Jakarta, dibentuk Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian menjadi inti dan Federasi Kaum Boeroeh Tionghoa.

Perhimpoenan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) didirikan tahun 1917, di lingkungan industri gula. Organisasi ini dikembangkan dan Porojitno yang dibentuk oleh Sarekat Islam (SI) dan ISDV Surabaya pada tahun 1916. PKBT kemudian dipecah menjadi dua di tahun 1918 yaitu Perhimpoenan Kaoem Tani (PKT) dan Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Onderneming (PKBO). PKBO kemudian digabung dengan Personeel Fabriek Bond (PFB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh Soerjopranoto tahun 1917.

Vereniging Sp00r-Traam Personen (VSTP) didirikan pada 14 November 1908 di Semarang, Jawa Tengah oleh 63 buruh “impor” Eropa yang bekerja pada 3 jalur kereta Nederlansch­Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Semarang-Joana Maatschappij Stoomtram (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).[18] Rapat umum VSTP pada Pebruari 1914 diputuskan dan posisi tujuh anggota eksekutif tiga diambil dan kaum bumiputera. Jumlah anggota VSTP diakhir 1913 adalah 1.242 (673 Eropa dan 569 Bumiputera), dan pada Januari 1915 beranggotakan 2.292 dan anggota bumiputera telah mencapai 1.439. Tahun 1915 VSTP menerbitkan orgaan (surat kabar) Si Tetap, dalam bahasa Melayu. Moehamad Joesoefmenjadi editornya. Joesoef pun terpilih menjadi Ketua Pusat bersama pemuda berusia 16 tahun, Semaoen.

Semaoen kemudian masuk ke VSTP cabang Surabaya pada paruh akhir 1914, dan dia terpilih menjadi ketua cabang di awal 1915. Pada 1 Juli 1916, Semaoen pindah ke Semarang menjadi propagandis utama VSTP dan editor Si Tetap. Semaoen begitu gigih membangun VSTP. Pada 1920 dia telah membangun 93 (sembilan-puluh tiga) cabang di Pulau Jawa (Cirebon, Semarang, Yogya, Surabaya, Madiun), beberapa di pantai Barat Sumatera dan pada perkebunan Deli. Anggota VSTP pada Mei 1923 telah mencapai 13.000 orang, atau seperempat buruh industri perkereta­apian Hindia Belanda. Tercatat 60 persen anggota pasti membayar iuran, sisanya membayar iuran organisasi pula namun tidak terlalu patuh.

Pemogokan VSTP pada April 1923 berakibat Semaoen­berdasarkan Gouvernement Besluit tanggal 4 Agustus 1923— diasingkan ke Nederland. Dia berangkat pada 18 Agustus 1923 menumpang kapal S.S. Koningin der Nederlanden.[19]

Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) adalah gagasan Sosrokardono, ketua PPPB (Pegawai Pegadaian), dilontarkan Mei 1919. Hal ini juga dilontarkan dalam Kongres SI ke IV, Oktober 1919, di Surabaya. Soerjopranoto memperkuat untuk realisasi PPKB. Berdirilah PPKB dengan Semaoen sebagai ketua dan Soerjopranoto sebagai wakil ketua. Maksud dan tujuan PPKB seperti di dalam anggaran dasar pasal 2 adalah:

“la bermaksud mengadjak dan mengadakan persatoean antara sederadjat kaum buruh supaja dapat suatu kekuasaan; kekuasaan itoe akan dipergunakan umumnja buat memperhatikan keperluannja kaum buruh dalam perkaranja lahir dan batin, jang pertama keperluannja lid2nja vakbond jang sudah bersatu dalam PPKB.”

Cara yang akan ditempuh:

“PPKB akan memasakkan itu dengan 3 djalan long ada, jaitu: “berichtiar mendapat kuasa dalam pamerintahan negeri supaja negeri terperintah—oleh—rakjat—sendiri mengurus djalannja redjeki” (sociaal democratisch      `Mengeratkan kaum buruh dalam pekerdjaannja guna merobah nasibnja” (vakstrijd, mengadakan perdagangan—oleh—dan—boeat—rakjat (koperasi).”[20]

Kongres I PPKB dilakukan pada 1 Agustus 1920 di Semarang. Pada bulan Juni 1921 diadakan suatu konperensi di Yogya. Hal ini menimbulkan perpecahan PPKB. Sehingga kemudian kedudukan organisasi dipindah dari Semarang ke Yogyakarta. Pecahan PPKB membentuk gabungan baru bernama Revolutionaire Vakcentrale diketuai oleh Semaoen.

Pemogokan-pemogokan dengan mengandalkan organisasi mulai gencar terjadi di tahun 1920-an. PFB tahun 1920 memobilisasi pemogokan disebabkan majikan menolak mengakui PFB sebagai organisasi yang mewakili anggotanya. Di Surabaya pada 15 Nopember 1920 pada Droogdok Maatschappij terjadi pemogokan diikuti sekitar 800 buruh. Agustus 1921 pemogokan terjadi di lingkungan buruh pelabuhan Surabaya. Medio Januari 1922 pegawai pegadaian mogok mencakup 79 rumah-gadai dengan sekitar 1.200 buruh (PPPB). Buruh kereta-api didukung sekitar 8.500 buruh mogok pada April 1923 (VSTP).

Dalam merespon aksi-aksi buruh tersebut pemerintah kolonial mengadakan peraturan “Dewan Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Djawa dan Madura” yang diharapkan menjadi perantara bila terjadi perselisihan industrial. Namun kemudian pemerintah kolonial merasakan bahwa pemogokan mempunyai tujuan politik untuk menggulingkan kekuasaan mereka. Untuk itu pada 10 Mei 1923 diumumkan undang-undang larangan mogok yang dikenal dengan artike1161 bis. Memang artike1161 bis dikeluarkan sebagai respon terhadap pemogokan VSTP.

Namun artikel ini bukan alat ampuh menyetop pemogokan. Pemogokan di perusahaan percetakan di Semarang terjadi pada 21 Juli 1925. Menyusul pemogokan di C.B.Z. pada 1 Agustus 1925; diikuti dengan pemogokan di Stoomboot en Prauwenveer yang diikuti sekitar 1.000 anggota yang berakhir pada September 1925. Percetakan Van Dorp di Surabaya juga mengalami pemogokan pada 1 September; sedang pada 5 Oktober dan 9 Nopember pemogokan terjadi di pabrik mesin N.I. Industrie dan Braat. Serikat Boeroeh Bengkel dan Elektris (SBBE) mogok pada 14 Desember 1925. Mencakup 7 pabrik mesin dan konstruksi. Penyebab pemogokan adalah Vereeniging van Machinefabrieken yang membawahi 7 pabrik tersebut memutuskan tidak ingin berhubungan dengan SBBE25

Pemogokan-pemogokan yang semakin menjalar tersebut direspon gubememen dengan menerbitkan peraturan baru yang mendukung artikel 161 bis:

Dioendangken dengen beslit radja, jaitoe tentang doea artikel No. 153 bis dan 153 ter dalem W.v.S.

153 Bis

Barang siapa, jang sengadja melahirken dengen perkata’an, toelisan atau gambar, jang bermaksoed, baik sindiran, baik tengah2 atau bisa didoega-doega, mengganggoe ketentereman oemoem, baik berkehendak atau setoedjoe dengen angan-angan jang mendjatoehken atau menjerang dari kekoeasa’an di negeri Belanda atau di Indonesia, aken dihoekoem dengen hoekoeman pendjara setinggi-tingginja enam tahoen atau denda oeang setinggi2nja tiga ratoes roepiah.

153 TER

Barang siapa, jangmenjetoedjoei atau menjebarken dengen toelisan atau gambar, jang bermaksoed baik sindiran, tengah-tengah atau dengen perkataan lain-lain, jang bisa menjebabken kegadoehan ketenteraman oemoem, atau mendjatoehken atau menjerang kekoeasa’an jang ada di negeri Belanda atau di Indonesia, dengen bermaksoed itoe di oemoemken atau membesarken, menjebar, mem­beritahoeken pada oemoem atau berkata, aken dihoekoem dengen hoekoeman pendjara setinggi-tingginja lima tahoen atau denda oeang setinggi-tingginya tiga ratoes roepiah.
Ini beslit radja, aken berlakoe molai tg. 1 Mei 1926.[21]

Dengan keluarnya peraturan pemerintah kolonial tersebut bisa dipastikan Gerakan Buruh pada awal-awal abad ke-20 mengalami represifitas dan banyak para pemimpinnya yang ditangkap dan dibuang ke pengasingan. Perjuangan melawan kapitalisme memang perjuangan yang tak pernah selesai…..

0 comments:

Posting Komentar

Powered By Blogger
JANGAN SALAH MEMILIH DALAM BERBISNIS | ANDA LAYAK MENDAPATKAN PRODUK TERBAIK | HUBUNGI : ARIF MULYADI (+62) 08562700040